Cinta Dalam Setiap Perjalanan

Wednesday, January 11, 2017

           “A good traveler has no fixed plans and is not intent on arriving.” – Lao Tzu

Begitulah kira-kira ungkapan yang mencerminkan diri saya, saya jarang sekali merencakan dengan sengaja untuk berkunjung ke suatu tempat, atau lebih tepatnya selalu mendadak.
Dengan laju motor yang tak terlalu kencang, saya menikmati perjalanan diiringi semilir angin yang berembus dan terik matahari yang sesekali menancap di kulit saya.
Satu jam setelah melalui jalanan yang nanjak dan berkelok, saya yang saat itu berdua bersama adik saya menemukan tempat yang belum terlalu ramai di kaki Gunung Ciremai.
Saya percaya, bahwa: setiap manusia yang hidup pasti selalu menemukan cinta. Dan cinta yang saya temukan adalah cinta pada setiap perjalanan yang saya lalui.
“Travel brings power and love back into your life.”  - Jalaluddin Rumi
Selamat Datang di kawasan Bukit Seribu Bintang, Batu Luhur, Kuningan!
Tulisan itu terpampang jelas pada banner, yang artinya saya menemukan sesuatu yang belum saya temukan sebelumnya. Laju motor pun saya hentikan, dengan membayar tiket sepuluh ribu per motor, saya menikmati nuansa alam di kaki Gunung Ciremai.



Rasa lelah hilang seketika, pemandangan bukit yang dirancang sedemikian rupa ini mampu menghipnotis pandangan saya. Tidak ada penginapan di sini, mungkin hanya rumah warga yang bersedia menampung pelancong yang hendak menikmati tempat ini.
Pelan-pelan, seiring berjalannya waktu, tempat yang tak diketahui keberadaannya mulai bermunculan di sosial media, termasuk tempat ini: Batu Luhur. Setelah saya berbincang dengan warga sekitar dan merekam percakapan menggunakan mental note yang selalu saya bawa ke mana-mana, saya jadi tahu, pemerintah daerah Kuningan mendukung penuh dalam sektor pariwisata yang dibantu oleh pihak desa setempat.
Saya kaget begitu mendengarnya, bahkan merasa salut kepada pemerintah daerah Kuningan yang terus berbenah dalam sektor pariwisata untuk meningkatkan potensi wisatawan yang nantinya akan semakin ramai berkunjung ke tempat tersebut. Dengan begitu, nama Kuningan akan semakin terkenal.
Matahari terus memancarkan sinarnya hingga menelusup jari jemari saya, siang yang panjang itu saya nikmati dengan senang hati. Puluhan tempat duduk yang terbuat dari kayu berhiaskan meja yang terbuat dari batu alam alami, serta pemandangan yang selalu indah untuk dilihat, semua menjadi satu di sini, di tempat ini.




Jam menunjukkan pukul tiga sore, langit pun mulai tak tampak lagi berselimut mentari. Kali ini, langit mulai gelap, hujan yang turun pun cukup deras, status waspada berpotensi petir pun diumumkan warga yang masih berada di sini. Saya dan beberapa pengunjung lainnya hanya bisa berdiam diri. Tak ada tempat berlindung selain rumah panggung yang beratapkan jerami.
“Dalam perjalanan, tidak ada satu pun yang akan mengetahui apa yang akan terjadi ke depannya.” –Anonymous.
Sembari memandangi langit gelap, memesan (lagi) kopi hitam kesukaan, berbincang dengan pengunjung lain, saya menyempatkan diri untuk memotret lingkungan sekitar. Hampir satu jam berteduh, hujan pun mulai reda, akhirnya saya melanjutkan perjalanan pulang dengan melibas jalanan yang licin.

Hampir dua bulan setelah itu, saya tak melakukan perjalanan. Ada sedikit rasa rindu akan alam. Ada segelintir cinta yang mulai hilang perlahan. Di penghujung tahun 2016, akhirnya sebuah perjalanan pun saya lanjutkan lagi. Ini adalah perjalanan terakhir saya di tahun 2016.
Seperti biasanya, tidak ada sebuah rencana yang disusun sedemikian rapi untuk melakukan perjalanan. Hari itu, di penghujung bulan Desember, cuaca gelap menyelimuti. Tetapi, dengan tekad dan rasa cinta yang selalu tumbuh, perjalanan di penghujung tahun pun diteruskan.
Lagi-lagi, motor adalah kendaraan yang saya tunggangi. Setelah sebelumnya melakukan perjalanan bersama adik saya, kali ini saya melakukan perjalanan bersama Opik, teman saya yang lebih tua empat  tahun dari saya.
Tujuan kali ini adalah Majalengka, kota dengan julukan seribu curug yang memesona. Antimainstream adalah sifat saya, saya tidak selalu ingin mengeksplorasi tempat yang sudah banyak orang kunjungi. Dua jam perjalanan pun saya tempuh. Tiba lah kami di Alun-Alun Majalengka.
Setengah jam setelah melewati Alun-Alun Majalengka, diri ini sempat ingin memberontak “buset, ada apaan tuh rame-rame?” kami diberhentikan gerombolan orang tak dikenal. Ternyata, mereka adalah pengurus desa setempat yang menyuruh kami memarkirkan kendaraan yang kami tunggangi di sebuah lapangan sepak bola.

Tujuh ribu rupiah saya keluarkan untuk biaya parkir kendaraan dan biaya menaiki Shuttle Bus. Shuttle Bus itu sendiri didapatkan dari proposal yang diajukan pihak desa Sidamukti kepada Pemda Majalengka yang bekerja sama dengan Dinas Perhubungan Majalengka, begitulah kira-kira keterangan yang diberikan sopir Shuttle Bus kepada saya.



Paralayang, Gunung Panten, tempat saya menghabiskan waktu di akhir tahun. Perasaan saya saat itu campur aduk, mengerikan dan menyenangkan mulai merasuki diri ini. Ada segelintir orang yang sedang mencoba olah raga paralayang, ada pula yang sedang menikmati keindahan tempat yang memesona itu.
Pemandangannya begitu menakjubkan. Hamparan sawah terlihat begitu jelas dari puncak Paralayang. Pengalaman baru ini pun tidak akan saya lupakan, cinta akan setiap perjalanan yang saya lalui akan terus tumbuh.
“The traveler sees what he sees. The tourist sees what he has come to see.” – G.K. Chesterton


Jangan mengaku pernah mengeksplor Majalengka jika belum ke Paralayang dan berdiri di puncak gunung Panten.
Untuk menarik hati pengunjung, baru-baru ini pihak desa Sidamukti mendirikan sebuah taman yang diberi nama Paraland yang letaknya persis di area Paralayang. Meski masih dalam tahap renovasi, taman ini memberikan kesan modern. Pengunjung pun dimanjakan dengan wahana yang menyerupai tempat untuk liburan keluarga.









FYI, day trip ke Majalengka itu sangat menyenangkan. Terbukti berulang kali, hampir setiap mengunjungi Majalengka perasaan berdebar karena pasti akan disuguhkan dengan pemandangan yang luar biasa indahnya.
Rasanya, saya seperti memasuki dunia yang belum saya temukan sebelumnya. Pemandangan yang menakjubkan yang selalu menghipnotis mata saya tertuju pada Majalengka. Saya membayangkan, jika seorang traveler mengunjungi Majalengka serta menikmati keindahan alamnya, mungkin memiliki perasaan yang sama seperti saya. Meski Majalengka masih satu lingkup dengan tempat tinggal saya, Cirebon, tetapi dengan mengeksplorasi kota kecil itu rasa cinta saya akan setiap perjalanan semakin besar.
Di sini, di Majalengka, saya menemukan cinta baru yang kembali bersemi setelah sirna setahun lalu. Bukan hanya Paralayang yang bisa dinikmati di Majalengka, ini adalah foto-foto tempat yang pernah saya kunjungi di Majalengka:

Cadas Gantung, Majalengka.
Cadas Gantung, Majalengka.
Curug Cipeuteuy, Majalengka.
Talaga Biru, Majalengka.
Sadarehe, Majalengka.
Panyaweuyan, Majalengka.
Panyaweuyan, Majalengka.
“Travel makes one modest. You see what a tiny place you occupy in the world.” – Gustave Flaubert.
Seiring langkah kaki yang saya pijak, saya bisa melihat bagaimana cara masyarakat Majalengka begitu aktif, bergerak, ada rasa ingin memajukan daerahnya dalam sektor pariwisata. Bercengkrama dengan masyarakat sekitar adalah kewajiba bagi saya. Rasa ingin tahu yang tertanam dalam hati saya seolah tak bisa terhindarkan. Peranan penting masyarakat juga merupakan salah satu simbol yang mempengaruhi datangnya pengunjung ke tempat tersebut.
Di tempat saya menapakkan kaki ini, saya selalu bersyukur banyak bertemu dengan masyarakat yang belum saya kenal sebelumnya. Mendapatkan pengalaman baru, cerita baru, di sini lah rasa cinta akan setiap perjalanan ini mulai muncul dalam benak saya, dan ini lah yang akan selalu saya rindukan.
Indonesia adalah Negara yang begitu luas dengan segudang budayanya, mengeksplorasi Indonesia tidak hanya sekadar dengan berfoto-foto. Mengenal budaya, seni, adat istiadat, dan pola pikir masyarakat jauh lebih bernilai, bagi saya.
Hari itu, Majalengka terasa istimewa. I travel back in time. Ada banyak kenangan yang membuat saya selalu jatuh hati kepada Majalengka. Salah satunya, kenangan akan cinta pada setiap perjalanan.

You Might Also Like

0 comments

Subscribe